Jumat, 01 Januari 2016

Dilema Etik Kedokteran; Surrogate Mother atau Sewa rahim

A.   Definisi
          Surrogate Mother atau Sewa rahim adalah proses penanaman ovum seorang wanita yang subur beserta sperma suaminya yang sah ke dalam rahim wanita lain dengan imbalan  sejumlah uang atau tanpa balasan karena berbagai sebab. Di antara penyebab terjadinya hal tersebut adalah  rahim pemilik ovum tidak baik untuk hamil, atau ketiadaan rahim bersamaan dengan adanya dua sel telur atau salah satunya yang subur, atau karena pemilik ovum ingin menjaga kesehatan dan kecantikannya dan sebagainya dari beberapa motif yang ada. Jadi pada intinya bagi para pasangan suami istri yang memiliki permasalahan untuk mendapatkan keturunan atau dengan sebab-sebab yang telah penulis sebutkan di atas, menyewa seorang perempuan yang memiliki rahim, dan kelebihan yang lainnya untuk menampung dan merawat ovum dan sperma penyewanya, agar keinginan mereka untuk memiliki keturunan dapat tercapai serta permasalahan yang mereka hadapi dapat terpecahkan.
B.   Macam-macam Surrogate Mother (Penyewaan Rahim)
1.    Bentuk pertama.
       Benih isteri (ovum) disenyawakan dengan benih suami (sperma), kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Proses seperti ini digunakan dalam keadaan isteri memiliki benih yang baik, akan tetapi rahimnya dibuang yang di sebabkan oleh pembedahan, memiliki cacat rahim yang di akibatkan oleh  penyakit yang kronis atau sebab-sebab yang lain.
2.    Bentuk kedua.
       Sama dengan bentuk yang pertama, kecuali benih yang telah disenyawakan dan dibekukan kemudian dimasukkan ke dalam rahim perempuan yang di sewa selepas kematian pasangan suami isteri itu.
3.    Bentuk ketiga
       Ovum isteri disenyawakan dengan sperma lelaki lain (bukan suaminya yang sah ) dan dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Dalam hal ini adalah pada situasi seorang suami mandul dan isteri ada halangan atau kecacatan pada rahimnya tetapi benih isteri dalam keadaan baik.
4.    Bentuk keempat.
       Sperma suami disenyawakan dengan ovum wanita lain (bukan istri yang sah), kemudian dimasukkan ke dalam rahim wanita lain. Hal ini terjadi  apabila isteri terkena atau memiliki penyakit pada ovari, sedangkan rahimnya tidak mampu untuk menjalani proses kehamilan, atau isteri telah mencapai tahap putus haid (menopause)
5.    Bentuk kelima.
       Sperma suami dan ovum isteri disenyawakan, kemudian dimasukkan ke dalam rahim isteri yang lain dari suami yang sama. Dalam keadaan ini isteri yang lain sanggup mengandungkan anak suaminya dari isteri yang tidak boleh hamil.
PERMASALAHAN
          Meskipun metode ini masih digolongkan sebagai metode baru dalam ilmu kedokteran, akan tetapi dengan perkembangan teknologi semakin pesat, dikarenakan adanya perubahan pola pikir masyarakat dan pengaruh dari berbagai belahan dunia (dampak pengaruh globalisasi). Menurut Desriza Ratman pengertian surrogate mother adalah someone who takes the place of another person (seseorang yang memberikan tempat untuk orang lain). Pengertian ini tidak terbatas apakah terhadap pasangan suami-istri, melainkan juga terbuka peluang pada hubungan yang tidak terikat perkawinan yang sah, bahkan inilah yang menjadi problema hukum, dalam hal ini hukum pidana Meskipun harus diakui bahwa prokreasi (vootplanting) atau reproduksi merupakan suatu hak yang secara kodrat untuk melanjutkan keturunan di masa yang akan datang, sebagaimana yang dikatakan oleh Ubaedillah A. dan Rozak Abdul bahwa reproduksi merupakan suatu kegiatan upaya manusia untuk melanjutkan keturunannya sebagai suatu hak yang melekat secara kodrat, yang merupakan salah satu dari tiga hak orisinil yang diberikan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai hak yang bersifat kodrat, maka setiap manusia ingin memperoleh keturunan walaupun mungkin ada keterbatasan–keterbatasan individu, dalam arti ada kekurangan (penyakit yang diderita) sehingga secara normal atau alamiah tidak memungkinkan dirinya mempunyai keturunan, akhirnya memilih untuk mempergunakan teknologi di bidang kedokteran tersebut. Surrogate mother secara harfiah disamakan dengan istilah “ibu pengganti” yang menurut Fred Ameln didefinisikan secara bebas sebagai seorang wanita yang mengikatkan dirinya melalui suatu ikatan perjanjian dengan pihak lain (biasanya suami-istri) untuk menjadi hamil setelah dimasukannya penyatuan sel benih laki-laki (sperma) dan sel benih perempuan (ovum) yang dilakukan pembuahannya di luar rahim sampai melahirkan sesuai kesepakatan yang kemudian bayi tersebut diserahkan kepada pihak suami istri dengan mendapatkan imbalan berupa materi yang telah disepakati.
Dalam perkembangan teknologi kedokteran surrogate mother dapat dilakukan dalam berbagai cara, yaitu:
1.    Benih yang akan ditanam berasal dari pasangan suami istri kemudian ditanam kembali ke      rahim istri
2.    Salah satu benih dari donor (baik sperma maupun sel telur) yang kemudian ditanam ke rahim istri
3.    Benih berasal pasangan suami istri, tetapi ditanam pada rahim wanita lain.

Berdasarkan cara tersebut di atas, surrogate mother dikenal dalam dua tipe, yakni:
1.    Tipe Gestational Surrogacy, di mana embrio berasal dari sperma suami dan sel telur   berasal istri yang dipertemukan melalui teknologi IVF, ditanam dalam rahim perempuan       yang bukan istri (disewa)
2.    Tipe Genetic Surrogacy, dimana sel telur berasal dari perempuan lain yang bukan istri,          kemudian dipertemukan sperma dari suami yang selanjutnya ditanam dalam rahim     perempuan tersebut.
Melihat cara-cara untuk melakukan surrogate mother, maka yang menjadi fokus analisa dalam hukum pidana, yaitu pada penanaman benih yang dilakukan tanpa diikat pada hubungan perkawinan yang sah, baik dalam penanaman benih yang berasal dari donor kemudian ditanam pada rahim istri maupun benih dari suami istri dan ditanam pada rahim orang lain, ataupun kedua-duanya tidak terikat perkawinan yang sah tempat di mana benih tersebut ditanam. baik surrogate mother tipe gestational surrogacy maupun tipe genetic surrogacy merupakan suatu perbuatan yang dapat dikenakan sanksi, karena perbuatan tersebut bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan :
1.    Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu      suami istri mendapat keturunan.
2.    Upaya kehamilan di luar cara alami sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat        dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan:
  • a). hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami istri yang bersangkutan, ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal
  • b). dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu
  • c). pada sarana kesehatan tertentu.

Ketentuan yang sama dipertegas di dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 yang pada intinya melarang untuk melakukan suatu tindakan medik surrogate mother yang tidak terikat hubungan perkawinan yang sah. Hal ini dipertegas di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 pada Pasal 10 ayat (1) bahwa dalam upaya melanjutkan keturunan diharuskan melalui perkawinan yang sah.
Dalam melakukan tindakan medik surrogate mother, dokter mengetahui dan menghendaki perbuatan tersebut, sehingga dalam tindakan tersebut terdapat unsur kesengajaan. Menurut teori kehendak bahwa kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan dalam undang-undang. Karena itu, perbuatan dan/atau tindakan dokter dalam melakukan pelayanan medik surrogate mother merupakan tindakan yang dilakukan secara sengaja, sebab tindakan tersebut dilakukan dengan sadar, diinsyafi, dan dikehendaki akan akibat yang mungkin akan terjadi.
Tindakan dokter dalam melakukan pelayanan medik surrogate mother memenuhi unsur sebagai tindakan kesengajaan yang dapat dituntut secara pidana. Hukum pidana menganut prinsip dasar bahwa apabila suatu tindak pidana telah memenuhi unsur, maka tindak pidana tersebut harus diproses sesuai dengan norma hukum yang berlaku, dalam arti ada perbuatan dan perbuatan itu terdapat kesalahan yang bersifat melawan hukum, dan orang yang melakukan perbuatan dapat dipertanggungjawabkan, maka patut diberi sanksi berupa pidana.
Pandangan Hukum Islam terhadap Sewa Rahim
       Dalam hal ini para ulama telah sepakat tentang pengharaman sewa rahim dalam keadaan berikut: menggunakan rahim wanita lain selain isteri, percampuran benih antara suami dan wanita lain, percampuran benih isteri dengan lelaki lain, atau memasukkan benih yang disenyawakan selepas kematian suami isteri, sebagaimana pendapat Syekh Jad Al-Haq Ali Jad Al-Haq, Syekh Al-Azhar bahwa hal tersebut hukumnya haram, karena akan menimbulkan percampuradukkan nasab.Argumen yang dikemukakan para ulama antara lain:
1.    Praktek di atas identik dengan nikah istibdha’ / zina walaupun keadaan sperma sudah             dibuahi (tidak menyendiri) seperti diungkapkan oleh Dr. Jurnalis Udin: "Memasukan         benih ke dalam rahim wanita lain sama dengan bersetubuh dengan wanita itu.”
2.    Qaidah usul mengatakan, "Al-Ashlu Fil Ibdha’ Al-Tahrim" (Pada dasarnya dalam urusan      kelamin (percampuran) hukumnya haram). Kontrak rahim termasuk meletakan sperma       pada sebuah rahim yang tidak halal baginya. Sedangkan perempuan yang rahimnya dikontrakkan jelas bukan isterinya. Sperma dari siapapun kecuali sperma suaminya,   haram dimasukkan ke dalam rahimnya.
3.    Dalam surat Al-Maarij ayat 31 Allah berfirman: "Maka barangsiapa yang menghendaki         selain yang demikian itu (bercampur kepada isterinya atau hamba sahaya yang dimilikinya) maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati batas.”
Bagaimana jika alasannya darurat (terpaksa) ? KH. Rusyad Nurdin berkomentar: "Itu bukan darurat, tapi memenuhi keinginan (bukan terpaksa tapi dipaksakan). Bila seorang wanita sakit lalu harus dioperasi dan hanya ada dokter laki-laki, itu baru darurat, hukumnya tetap, tapi boleh dilakukan.”
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat dikemukakan dalam upaya pelayanan medik kehamilan di luar alami antara lain sebagai berikut; Pertama, perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran yang begitu pesat tidak diimbangi dengan ketentuan hukum yang berlaku Indonesia, sehingga menimbulkan berbagai permasalahan hukum di bidang kedokteran yang salah satunya surrogate mother. Kedua, perbuatan surrogate mother tidak hanya menyalahi kaidah–kaidah hukum yang berlaku di Indonesia, tetapi juga ideologi negara, yakni Pancasila. Oleh karena itu tindakan surrogate mother tidak dapat diterapkan di Indonesia.Ketiga, tindakan medik surrogate mother dapat dikategorikan sebagai perbuatan zinah, sehingga dalam mengantisipasi kekosongan hukum terhadap kasus surrogate mother di bidang hukum pidana, instrumen yang dapat diterapkan yaitu dengan menggunakan konstruksi penafsiran ekstensif. Keempat, tindakan dokter untuk melakukan pelayanan medik terhadap surrogate mother tidak hanya bertentangan etika (sumpah dokter), melainkan juga bertentangan dengan peraturan perundangundangan berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
       Ameln, Fred, 1991, Kapita Selekta Hukum Kesehatan, Cet. I, Grafika Tama Jaya, Jakarta.
       Ismani, nila. 2001. Etika Keperawatan. Jakarta : Widya Medika Priharjo, Robert. 1995. Pengantar Etika Keperawatan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
       Machmud, Syahrul, 2008, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum Bagi Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, Mandar Maju, Bandung.
       Ratman, Desriza, 2012, Surrogate Mother Dalam Perspektif Etika dan Hukum, Bolekah Sewa Rahim di Indonesia, Elex Media Komputindo, Jakarta.
       Samil RS. Masalah Bioetik dalam rekayasa Genetika Kedokteran, Pertemuan Nasional II Bioetika dan Humaniora. Bandung 31 Oktober – 2 Nopember 2002.

0 komentar:

Posting Komentar